Di tengah bertambahnya populasi kendaraan bermotor, yang juga dialami oleh Kota Jogja seperti lazimnya kota-kota lain di Indonesia, tidak dipungkiri masih tersisa banyak penduduknya tetap bersepeda melintasi ruas-ruas jalan kota ini. Bagi yang menyadari bahwa kecilnya Kota Jogja dengan kondisi geografis yang relatif datar, mereka pasti mampu merasakan bahwa pilihan mereka untuk lebih menggunakan sepeda sudahlah tepat. Namun demikian, apapun alasan memilih bersepeda, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir jumlah pesepeda di kota ini bisa dikatakan meroket. Berbagai motif pun muncul dari kalangan pesepeda untuk membentuk perkumpulan atau komunitas – dari sekedar karena kesamaan hobi sampai karena inisiatif-inisiatif yang lebih serius terkait kampanye penggunaan sepeda. Kegiatan demi kegiatan bersepeda sering diadakan. Namun nyatanya komunitas justru mengerucut pada pengkotakan. Tak jarang kelakar terdengar soalan kawan yang mengomentari komunitas satu dengan yang lain.
Maka komunitas bukanlah solusi, aktifitas adalah jawabannya. Jalanan Kota Jogja akhirnya telah mempertemukan anak-anak muda tanpa selubung kelompok untuk menciptakan kegiatan bersepeda bersama termasuk Jogja Last Friday Ride (JLFR), yang sesuai namanya digelar pada tiap hari Jumat terakhir setiap bulannya, tentu saja, di Kota Jogja.
Namun demikian, jauh sebelum tercetusnya JLFR pada awal 2010, telah ada banyak kegiatan bersepeda serupa yang sempat dilakukan, yang umumnya untuk memperingati peristiwa-peristiwa khusus. Misalnya saja konvoi sepeda “Dengan Sepeda Kami Bersumpah” pada tanggal 25 Oktober 2009, yaitu untuk memperingati hari Sumpah Pemuda; konvoi “Ride Jogja” pada tanggal 6 Desember 2009, yang bersamaan dengan konvoi-konvoi sepeda di banyak kota di dunia; dan konvoi sepeda peringatan Hari Bumi pada tanggal 22 April 2010, yang diorganisir oleh teman-teman sepeda tinggi Jogjakarta.
Kegiatan-kegiatan sepeda tersebut terbukti cukup mampu menarik massa pesepeda yang cukup banyak. Tiap kegiatan mampu menggalang lebih dari 200 pesepeda. Karena dirasa kegiatan-kegiatan ini terlalu sporadis tidak menentu dari sisi waktu, tercetus ide untuk melakukan kegiatan pawai sepeda di dalam kota yang rutin. Obrolan demi obrolan di antara teman pesepeda pun terjadi setelah mengikuti konvoi sepeda Hari Bumi, menghasilkan kesimpulan bahwa perlu untuk mengadakan aktivitas bersepeda bersama setiap bulan sekali, setidaknya dalam satu nama kegiatan.
Mengapa kegiatan ini kemudian mengambil hari pada hari Jumat terakhir setiap bulannya? Dari beberapa referensi diketahui bahwa Jumat terakhir setiap bulannya adalah hari yang cukup istimewa bagi gerakan sepeda di dunia. Di banyak kota di dunia pada hari tersebut sering ada peristiwa sepeda yang disebut Critical Mass, sebuah konvoi pesepeda, sering bersifat protes, untuk menunjukkan besarnya populasi pesepeda di satu kota. Kadang dalam protes ini disertai penyumbatan jalan oleh pesepeda, dan bahkan bentrokan dengan petugas kepolisian sering kali tidak terelakan seperti yang terjadi di New York di tahun 2004. Namun demikian, JLFR sendiri menempatkan diri sebagai sebuah pertemuan dan perayaan saja. Bila sebuah protes dalam bentuk critical mass menuntut jumlah peserta yang banyak sampai ratusan, JLFR dari awal tidak ingin menuntut kuantitas; dengan lima atau sepuluh pesepeda pun tetap sudah cukup untuk melakukan kegiatan ini.
JLFR bukan merupakan kegiatan yang mengampanyekan penggunaan sepeda di atas motif-motif yang lazim dalam gerakan sepeda dewasa ini, terlebih lagi di atas isu pemanasan global. Bila sampai saat ini begitu banyak orang yang rela ikut dalam kegiatan ini, memang begitulah faktanya bahwa jumlah pesepeda di kota ini tidaklah sedikit. Keikutsertaan dalam JLFR ini berdasarkan suka rela, tidak ada paksaan. Kehendak dan kesadaran tanggung jawab pribadi adalah yang membawa kita untuk ikut kegiatan ini, seperti halnya dengan pilihan kita untuk bersepeda dan menjadi bagian dari lalu lintas kapanpun di manapun. Dengan demikian JLFR menjadi pertemuan individu-individu yang merdeka di atas sepeda dan berkehendak untuk bersepeda bersama-sama, merayakan cinta kita kepada sepeda.
JLFR sudah memasuki seri yang ke 12. Dalam perjalannya mulai JLFR pertama sampai ke 11 mulai muncul isu isu yang menarik. Masalah ketertiban, kedisiplinan di jalan raya, safety riding dan tata kelola ruang kota banyak menjadi sorotan para relawan peserta JLFR. Diskusi yang paling menarik adalah soal ketertiban dan kedisiplinan. Sorotan terhadap kondisi jalanan Jogja dan perundang-undangan yang tidak sepenuhnya bisa mengakomodir pengguna jalan raya itu sendiri, kondisi ruang ruang publik yang diekploitir untuk kepentingan usaha dan pajak, bahkan pedestrian yang tidak memenuhi standar pada akhirnya memunculkan pemahaman tentang arti jalan sebagai ruang untuk berbagi sekaligus ruang pembebasan. Bukan hanya bersenang-senang, dalam JLFR seluruh relawan partisipan menunjukan kenyataan bahwa individu-individu mempunyai tanggung jawab terhadap sekitar, mempunyai mekanisme kesadaran berbagi secara spontan, tanpa perlu aturan, tanpa perlu perintah, dan tanpa memerlukan pimpinan. Kesadaran-kesadaran itu muncul secara spontan sebagai bentuk penghargaan hak dan kewajiban sebagai pribadi dan sekitarnya.
Melalui situs jejaring sosial, JLFR secara reguler mengabarkan rencana pelaksanaan dan rutenya. Rute dibuat agar pesepeda yang ingin bergabung tidak harus mengikuti dari lokasi start, mereka bisa bergabung di jalan-jalan yang dilalui. Di lokasi finish, sering juga digelar permainan-permainan menggunakan sepeda yang menarik, konyol dan menghibur. JLFR adalah sebuah pesta perayaan bagi siapapun yang merdeka dan suka bersepeda.
JLFR Selama Setahun
Teman-teman yang menggagas kegiatan ini sangat yakin kalau acara ini bakal sukses karena kegiatan-kegiatan serupa yang telah sering dilakukan. Tidak menjadi masalah siapa yang menjadi penggagas acara, yang lain pasti hadir meramaikan. Oleh karena itu, JLFR yang pertama pun sukses terlaksana meski sebelum kumpul hujan deras memang menguyur Kota Jogja pada Jumat sore itu tanggal 28 Mei 2010. Dari yang pertama ini sampai yang kesebelas bulan lalu hujan memang selalu menjadi kekuatiran akan menggangu jalannya JLFR. Beberapa kali JLFR berlangsung dalam rintik hujan, bahkan sekali dalam hujan deras hingga memecah rombongan.
Sukses diperoleh bukan hanya karena terus berlangsung meski sering dihantui hujan. Dari segi jumlah peserta, dari bulan ke bulan tampak mengalami peningkatan. Bila pada JLFR yang pertama hanya berkisar 100 orang yang terdiri dari mereka yang sudah saling kenal karena pertemuan di ajang-ajang sepedaan sebelumnya, Namun peningkatan begitu terasa dan sangat terlihat pada tiga JLFR terakhir. Seorang teman bercerita betapa takjub ketika pada JLFR #11. Ia sempat dari Kuncen berusaha mengejar rombongan terdepan, namun bahkan sampai Plengkung Gading dia belum juga menemukan rombongan terdepan. Bisa dibayangkan berapa kilometer panjang konvoi ini dan berapa banyak pesepeda yang membentuknya. Bisa jadi jumlah peserta mencapai lebih dari 700 orang,. Jumlah yang cukup bisa bikin merinding seorang Stefanus Jallu P., seperti ia akui lewat twitter-nya,
“Jaman dulu ga kebayang sepedaan bareng” se-jogja, mentok 1 sekolahan 3 angkatan, sekarang? bikin merinding hrrrr….”
Tidak dipungkiri jika dalam kurun satu tahun ini jumlah pesepeda secara signifikan bertambah. Dalam acara ini berbaur berbagai jenis sepeda, dari si kecil bandel BMX sampai si jangkung sepeda tinggi, juga tak ketinggalan fixie menthel yang sedang tren saat ini. Semua memeriahkan suka cita pesta jalanan kota dengan rute yang telah ditentukan sebelumnya.
Sesuai namanya, JLFR membatasi rute-rute bersepedanya hanya sebatas Kota Jogja dan sekitarnya yang masih dalam jangkauan. Sampai JLFR #11 kemarin segala penjuru kota sudah dijelajahi, meski hanya melewati jalan-jalan utama. Rute JLFR #1 bisa dikatakan sebagai rute yang paling jauh karena melewati daerah Seturan sampai jalan lingkar utara (Condongcatur–Kentungan). Pada pelaksanaan yang pertama, rute ini menjadi semacam uji coba, dan hasilnya memang dirasa terlalu jauh. Meski rombongan tidak lebih dari 100 orang, karena kecepatan yang berbeda jadi terpecah-pecah. Kumpul ulang dilakukan di Jl. Kaliurang untuk bersama-sama lagi selesai sampai di Titik Nol Kilometer, melewati Jl. Mangkubumi dan Jl. Malioboro yang legendaris ini.
Hampir semua rute JLFR melewati kedua jalan ini. Daya tariknya sebagai bagian dari pusat kota yang sarat akan berbagai aktivitas publik, kedua jalan ini, terutama Malioboro, mendapat perlakuan khusus dari kerumunan bergerak JLFR ini. Seolah jalan satu arah ini menjadi panggung catwalk dengan kanan kiri berjajar kursi-kursi penuh penikmat fesyen. Memang JLFR mampu memberi publik satu tontonan yang khas Jogjakarta. Publik pada dasarnya sudah sangat terbiasa dengan pawai-pawai sepeda semacam ini. Sejauh apapun rutenya, melewati Malioboro menjadi semacam puncak kenikmatan bagi pesepeda; ada kebanggaan bersama ketika bergerombol memenuhi Jalan Malioboro dari ujung utara sampai ujung Selatan selesai pojok Gedung Agung (Jl. A. Yani). JLFR #8 (Desember) dan #9 (Januari) memberi pesepeda kesempatan untuk berekspresi bebas dan publik tontonan yang maha keren. Pernah sengaja sebelum masuk Jl. Malioboro, rombongan berhenti di Jl. Mangkubumi untuk berkumpul kembali, memadatkan kerumunan, dan setelah itu bergerak bareng masuk Jl. Malioboro, dan hasilnya luar biasa. Malioboro dari ujung utara hingga selatn padat dengan sepeda, tidak tertembus kendaraan lain sampai hampir ujung selatan di depan Pasar Beringharjo.
Dalam jumlah begitu besar masuk ruas jalan yang tidak begitu lebar, kerumunan sepeda membuat jalan secara alami tersumbat dari arus kendaraan bermotor. Gerak lambat sepeda-sepeda di ujung terdepan rombongan, bahkan sempat sepeda dituntun, mampu mengosongkan jalan di hadapan mereka, yang telah ditinggalkan oleh kendaraan bermotor. Ini memberi ruang sepeda-sepeda untuk berekspresi bebas di sepanjang jalan ini. Beberapa pesepeda yang terampil dengan trik-trik pun unjuk gigi, memberi tontonan gratis ke sesama pesepeda dan publik di kanan kiri jalan. Sepanjang jalan yang ada tidak lain kecuali kegembiraan. Bagi yang tidak pernah bisa memahami asyiknya bersepeda pasti hal seperti ini tampak liar. Namun sejauh ini tidak pernah terdengar ada keributan akibat kegiatan ini. Pemandangan aktivitas kelompok-kelompok atau individu-individu bersepeda yang mempertontonkan aksi-aksi mereka di sisa-sisa ruang publik dan jalanan adalah kelaziman di kota Jogja. Pada dasarnya para pesepeda adalah jiwa-jiwa yang bersahabat. Bila suatu persaudaraan-persaudaran di antara begitu banyak peserta memang telah terbangun, itu adalah fakta yang sulit untuk diingkari.
“Seperti bersepeda dengan keluarga sendiri.”
Demikian Nauval Abduljabar lewat Twitter-nya mengungkapkan testimoninya tentang kegiatan sepeda ini, merespon pertanyaan akun resmi twitter JLFR (@Friday_Ride). JLFR memang menawarkan keakraban kepada sesama pesepeda. Bila pada awal-awal JLFR masih didominasi pesepeda yang sudah lama kenal, saat ini JLFR telah mampu mempertemukan lebih banyak pesepeda yang untuk pertama kali bertemu di ajang ini. Mereka selalu tampak ceria dalam kelompok-kelompok kecil di lokasi start dan sepanjang jalan yang dilalui. Meminjam kata-kata Yoan Vallone, “Bersepeda sinomin dengan bergembira.” Antusiasme dan keakraban selalu berlanjut di lokasi finish dengan atau tanpa tambahan acara seperti permainan atau lomba sepeda. Beberapa kali memang setelah selesai bersepedanya, lomba-lomba dengan sepeda dilakukan; misalnya track stand, bunny hop, dan lomba-lomba lain yang lumayan konyol, manjadi hiburan tersendiri bagi pesepeda maupun publik yang kebetulan ada di lokasi. Hadiah-hadiah kebanyakan berupa kaos yang merupakan sumbangan sukarela dari beberapa pihak.
Selain segala kemeriahan dan hingar-bingar pesta para pesepeda, ada satu momen di mana JLFR membangun kepedulian sosial bagi warga korban bencana. Meletusnya Gunung Merapi pada 25 Oktober 2010 lalu telah menjadi bencana bagi ribuan warga yang meninggali lereng-lerengnya, memaksa mereka harus mengungsi ke wilayah lebih aman. Kejadian ini telah menggugah ide untuk menjadikan JLFR #6, tepatnya pada tanggal 29 Oktober 2010, ajang untuk menggalang dana bantuan bagi pengungsi Merapi. Kotak kardus dibuat dan diputar untuk mendapatkan sumbangan suka rela di lokasi start dan finish. Dalam Penggalangan dana ini terkumpul uang sebesar Rp 739.700,00. Kemudian dana ini digabung dengan dana-dana yang tergalang lewat beberapa komunitas sepeda di Jogja seperti Bike to Work (B2W) Jogja, Cyclebandidos, dan Bantul MTB dan juga dengan dana-dana sumbangan pribadi. Pada 31 Oktober 2010, penyaluran bantuan dilakukan bersama-sama.
Sebagai sebuah kegiatan yang melibatkan banyak individu dengan pikiran yang berbeda-beda, JLFR tetap tidaklah lepas dari kontroversi. Apa yang terjadi selama berjalannya konvoi sepeda yang masif ini telah memicu diskusi atau perdebatan, baik di halaman Facebook (FB) maupun dalam obrolan-obrolan saat berkumpul. Misalnya, mulai pada 28 Februari 2011 sebuah diskusi terpicu oleh satu kritikan yang ditulis oleh salah satu peserta pada “dinding” halaman FB JLFR. Ia mengatakan bahwa JLFR terlalu lambat bergerak, menyebabkan kemacetan, dan tidak mengerti cara berlalu lintas yang benar. Beberapa jawaban mengatakan bahwa kegiatan ini bukan balapan jadi kalau lambat sah-sah saja. Kalau pun memenuhi jalan, itu justru menjadi bukti kesuksesan, bahwa banyak pesepeda mau bergabung untuk berbagi kesenangan dalam perayaan ini. JLFR tidak pernah memaksa orang untuk ikut, sampai JLFR #11 (Maret) jumlah peserta bisa membeludag adalah jasa dari tiap-tiap individu karena suka rela mereka untuk bergabung. Kalau pun jalanan jadi penuh sepeda, tentu itu konsekuensi logis karena jumlah peserta yang demikian besar. Bila tampak tidak tertib di jalan maka itu pun resiko yang logis. Bayangkan jumlah sebanyak itu berjalan bareng. Kendaraan lain, sepeda motor misalnya, bila dalam situasi seperti ini pun pasti akan tampak tidak tertib. Disamping itu kita hanya meminta 2 jam dan sekali sekali sebulan untuk tidak di pinggirkan oleh kendaraan bermesin.
Coba kita tengok acara-acara funbike berbayar yang seringkali berdalih untuk mengampanyekan gaya hidup hijau dan penggunaan sepeda untuk kendaraan sehari-hari, namun berhadiah mobil dan sepeda motor, yang melibatkan ratusan bahkan ribuan pesepeda. Kalau memandangnya dari sudut perilaku berlalu lintas jelas acara-acara ini pun tampak sangat tidak tertib, bahkan seolah sudah dilegalkan karena sudah “membayar biaya perijinan” dan lain-lain. Dan bila kita harus mengkritik perilaku pesepeda, tentu haruslah kita juga mengkritik perilaku pengguna kendaraan jenis lain, mengkritik ketersediaan infrastruktur jalan dan ruang publik, mengkritik apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk membenahi segala ketidakteraturan yang memang sudah lazim ini.
Para penggagas JLFR yakin bahwa individu-individu pesepeda bila mereka sedang mengayuh sepedanya sendiri pasti mereka akan lebih tertib. Sifat sepeda di jalan raya bisa menjadi yang paling lemah secara otomatis menjadikan pengguna lebih hati-hati. Dan sebenarnya itu yang paling penting. JLFR tidak berharap peserta jadi tergantung dengan kegiatan ini. Kesenangan bersepeda bisa didapat saat sendiri atau pun bersama-sama. Dan ketika kamu setiap harinya bersepeda, maka tiap hari adalah “JLFR” bagimu.
Sumber: BIKEYEAH!
Facebook JLFR: jogjalastfridayride
Sumber Foto dari Facebook JLFR